Jumat, 25 Desember 2009

Pupuk organik

Republika. Selasa, 13 Juni 2006

Teknologi Pemupukan Hayati
(Tambahan untuk Andi Irawan)

Khudori

Penanganan kelangkaan pupuk dari sisi demand, seperti diulas Andi Irawan dalam artikel ''Kenaikan HET Pupuk dan Syarat Petani'' (Republika, 6 Juni 2006), bisa menjadi salah satu solusi mujarab. Penerapan teknologi pupuk hayati (biofertilizer) akan mengurangi ketergantungan petani pada pupuk anorganik (pabrik).

Bisa dipastikan, seperti diulas Andi Irawan, kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk yang berkisar 9,38-14,29 persen tidak akan mengurangi tekanan akut dan rutin terhadap kelangkaan pupuk. Selain karena disparitas harga pupuk sektor pertanian, perkebunan, industri, dan pasar internasional yang memantik moral hazard, tidak terselesaikannya kelangkaan pupuk oleh beleid HET bisa dilihat dari rencana produsen pupuk menaikkan harga tebus pupuk oleh distributor.

Harga tebus urea, misalnya, naik dari Rp 955 jadi Rp 1.080 per kg (Bisnis, 18/5/6). Masalahnya, jika harga tebus pupuk dinaikkan, persoalan distribusi tidak akan selesai. Kelangkaan pupuk yang coba diselesaikan dengan menaikkan HET akhirnya tidak menemukan alasan logisnya.

Bulan-bulanan
Ke depan, bisa dipastikan, kelangkaan pupuk yang menjadi rutinitas tahunan akan tetap terjadi. Ketika musim tanam tiba, pupuk langka. Sementara waktu tanam tidak bisa dimundurkan. Kalaupun ada, harganya jauh di atas HET. Petani yang sudah demikian minded pada pupuk pabrik (anorganik) akan jadi bulan-bulanan produsen dan distributor.

Pola tanam serentak, perluasan areal tanam, disparitas harga pupuk subsidi dan non-subsidi dan alokasi gas yang tidak berpihak pada industri domestik, akan jadi momok laten yang mengancam terganggunya ketersediaan pupuk secara tepat waktu, jumlah, dan harga. Selama petani bergantung pada pupuk kimia, ancaman kelangkaan pupuk tak akan sirna.

Kondisi ini, mestinya menyadarkan stakeholders pertanian, terutama petani, untuk pelan-pelan melepaskan diri dari jerat pupuk kimia. Praktik pertanian intensif yang diadopsi lewat Revolusi Hijau memerlukan input luar yang intensif dan besar. Ironisnya, input --bibit, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lain-- yang diproduksi perusahaan transnasional (TNC) tersebut harus dibeli dengan harga tinggi.

Agar berproduksi tinggi, varietas padi unggul harus diberi asupan kimia yang tinggi pula karena memang rakus hara. Pola tanam monokultur dan satu varietas membuat ketahanan pada penyakit cepat luntur. Agar tetap bisa berproduksi tinggi, dipakailah pestisida dan herbisida. Ironisnya, pestisida tersebut tidak hanya membunuh 'teman petani' yang menjadi musuh alami hama dan penyakit, tapi juga meninggalkan residu yang berbahaya buat jasad renik dan manusia.

Di Jawa Barat, residu parakuat (0,0016-0,0025 ppm), oksadiazon (0,0011 0,0023 ppm), dan 2,4-D (0,0014-0,0025 ppm) ditemukan pada tanah sawah di seluruh provinsi. Residu glifosat (0,0009-0,0012 ppm) terdapat di Ciamis, Majalengka, dan Serang.

Di Jawa Tengah, residu herbisida ditemukan di sawah di Rembang, Klaten, Bantul, Cilacap, Kebumen, Banyumas, Brebes, dan Pemalang, berupa: MCPA (0,0005-0,0285 ppm), 2,4-0 (0,0016-0,0095 ppm), metil metsulfuron (0,0010-0,0046 ppm), parakuat (0,0128-0,0216 ppm), dan glifosat (0,0004-0,0125 ppm). Hal serupa ditemui di sawah-sawah di Jawa Timur (Ali, 2003).

Memang, konsentrasinya masih di bawah batas maksimum residu (BMR). Tapi karena penggunaannya tidak terkendali, tidak lama lagi BMR terlampaui. Ini belum termasuk residu tambang emas dan industri yang berupa logam berat. Tanah yang terus-menerus dipupuk dengan pupuk kimia juga menjadi kurus dan gersang. Apalagi, para petani tidak pernah mengembalikan seresah sebagai bahan organik (BO). Output-nya bisa dilihat dari stagnasi produktivitas usahatani satu dasawarsa terakhir yang mengalami levelling off.

Stagnasi produktivitas juga disebabkan oleh kian terkurasnya kandungan BO tanah oleh varietas unggul yang rakus hara. Saat ini, 80 persen dari 7,4 juta hektare sawah di Indonesia memiliki kandungan BO kurang dari satu persen. Kandungan ideal BO adalah lima persen. Padahal, pada sawah dengan kandungan BO kurang dari satu persen, agar produksinya baik, perlu input yang besarnya dua kali lipat ketimbang tanah sawah yang kandungan BO-nya dua persen.

Fungsi BO sangat vital bagi kesehatan tanaman sehingga dapat berproduksi secara ekonomis dan berkelanjutan. BO tidak saja menjamin proses fisika-kimia-biologi berjalan optimal, tapi juga menyediakan lingkungan pertumbuhan tanaman yang produktif karena dibantu oleh aktivitas mikroba tanah.

Keberadaan mikroba tanah tidak hanya menjamin efisiensi penggunaan pupuk kimia, tapi juga berperan penting dalam penyediaan nutrisi dan perbaikan sifat tanah. Untuk meningkatkan BO tanah umumnya dilakukan dengan pupuk kompos. Namun, upaya ini sering terbentu oleh penyediaan kompos dan volume kompos yang bisa 10-50 kali dari dosis pupuk kimia.

Sejauh ini, sudah banyak hasil riset yang bisa mengeleminisai soal ini: pemupukan lewat pendekatan biologi/hayati. Prinsipnya, aktivitas mikroba tanah dapat ditingkatkan untuk kurun waktu tertentu melalui introduksi mikroba unggul ke dalam tanah. Mikroba ini secara khusus diisolasi dari tanah Indonesia asli dan dikemas dalam bahan pembawa (carriers) yang mampu menjaga reaktivitasnya dalam periode yang memadai.

Ada banyak mikroba yang bisa dimanfaatkan, antara lain, Azospirillum Lipoverum dan Azotobacter Beijerinckii untuk penambat N dari udara tanpa harus bersimbiosis dengan tanaman. Keduanya juga mampu meningkatkan kelarutan P sukar larut. Aeromonas Punctata dan Aspergillus Niger adalah dua mikroba pelarut P yang sangat efektif guna melepaskan ikatan senyawa P yang sukar larut. Yang juga penting, mikroba ini bisa memperbaiki aerasi dan agregasi tanah.

Agar dapat disimpan cukup lama, formulasi pupuk hayati (biofertilizer) ini perlu menyediakan lingkungan yang nyaman dan makanan yang cukup bagi mikroba. Kemasan dalam bentuk butiran (diameter 2-3 mm) akan mempermudah aplikasinya di lapangan oleh petani. Produk-produk biofertilizer komersial lainnya juga sudah dapat dijumpai di pasar (domestik maupun impor), berbahan aktif jamur mikorisa dan/atau penambat N udara melalui simbiosis dan umumnya dalam kemasan bubuk (powder).

Hemat 50 persen

Dari berbagai riset menunjukkan, penggunaan teknologi pupuk hayati menghemat penggunaan pupuk kimia hingga 50 persen dan biaya pemupukan antara 15 persen-46 persen, bergantung jenis tanamannya. Dengan asumsi biaya pemupukan adalah 60 persen dari biaya produksi, maka peningkatan margin keuntungan petani bisa mencapai 9-18 persen.

Keuntungan tidak kasatmata (intangible benefit) diperoleh dari berkurangnya potensi pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia. Berikutnya, stagnasi produktivitas akibat kelelahan tanah (soil fatique) bisa dihindari. Ini akan menjamin keberlanjutan kapasitas produksi lahan-lahan pertanian dan menjamin ketahanan pangan.

Bagi produsen pupuk, penghematan konsumsi pupuk akan menciptakan peluang ekspor yang lebih besar tanpa mengganggu pasokan dalam negeri. Apabila asumsi ini dipenuhi, dengan menggunakan data tahun 2002, penghematan pupuk secara nasional bisa mencapai 2,3 juta ton urea, 0,4 juta ton SP-36, dan 0,2 juta ton ZA, dan pupuk lain dengan total nilai Rp 4,7 triliun. Bagi petani, selain kenaikan pendapatan, mereka juga tidak akan didera waswas --pupuk langka dan pupuk mahal-begitu musim tanam tiba.

Khudori, Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian

Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=252044&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda